Kakakku My Hero
19 February 2015
Edit
Kak,
aku bangga padamu. Kau mampu menjadi yang terbaik dalam memerankan tokoh dalam
hidupmu. Kau adalah ayah bagi anakmu, kau adalah suami bagi istrimu, kau adalah
kakak bagi adik-adikmu, dan bagiku kau adalah segalanya. Aku bersyukur telah
menjadi adikmu. Terima kasih untuk semua pengorbananmu, perhatian, perjuangan,
dan ketulusan cintamu.
Pagi
itu, disaksikan oleh mentari yang baru saja menyapa bumi, kau ungkapkan
perasaanmu yang mendalam kepada ibu, memohon do’a dan restunya.
“Bu,
dari rahimmu aku terlahir dan dari buaianmu aku mulai mengenal dunia yang penuh
duri ini. Namun, berkat cinta dan kasih sayangmu, hingga kini aku mampu
menghadapi semua ujian kehidupan,” ucap kakak mengawali dengan kata-kata yang
mampu menyentuh hati siapapun yang mendengarnya kala itu.
“Aku
tak pernah tahu kapan langkah ini akan berlabuh, tapi hatiku selalu mengatakan
bahwa engkaulah tempatku kembali setelah perjalanan yang melelahkan itu, bu…”
lanjutnya.
Ibu
menatap anak sulungnya begitu dalam, seolah tahu apa yang akan dikatakan
olehnya. Dengan penuh keberanian dan ketulusan, kakak mulai mengungkapkan
keinginannya untuk meminang seorang gadis dan menjadikannya sebagai pendamping
hidup.
“Bu,
hanya darimu aku dapatkan restu, darimu jua ridho Allah kuperoleh, dan sekarang
aku memohon do’a, restu dan ridhomu untuk menikah…” ungkap kakak sambil
memegang erat tangan ibu.
Ibu
yang saat itu sedang sakit, hanya bisa meneteskan air mata bahagia. Dengan
begitu lembut, ibu mencium kepala kakak dan mengantarkan restunya.
“Iya
Nak, ibu merestuimu. Semoga engkau mampu menjadi pemimpin dalam keluargamu
kelak. Ibu akan bahagia seandainya anak-anak ibu dapat bahagia…” ucap ibu dalam
do’anya.
Meskipun
kakak seorang yang kuat bagiku, tapi tetap saja air matanya meleleh mendengar
do’a ibu.
“Satu
pesan ibu, jika nanti kau sudah berrumah tangga, titip adik-adikmu…” pesan ibu.
“Jaga
mereka, cintailah mereka seperti engkau mencintai dirimu sendiri dan istrimu.
Mereka masih membutuhkan kasih sayang, perhatian dan cinta. Karena itu ibu
mohon bimbing mereka…” ucap ibu dengan suara yang semakin serak karena
menangis.
“Tentu
bu… aku akan selalu menjaga mereka,
bersama ibu…” jawab kakak tak kuasa mengungkapkan sayangnya pada ibu dan
adik-adiknya
Selepas
percakapan yang cukup mengharukan antara ibu dan kakak, semua keluarga sibuk
mempersiapkan pernikahan. Mulai dari perencanaan waktu, undangan, pakaian,
makanan, barang-barang seserahan, sampai hal terkecil lainnya. Namun, tiga
minggu sebelum hari bahagia itu tiba, sakit ibu kembali kambuh. Keluarga yang
sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan, kini ditambah kepanikan karena
kondisi ibu yang semakin buruk.
Hari
itu juga, ibu langsung dilarikan ke rumah sakit dan mendapat pertolongan
pertama. Kata dokter, ibu ternyata harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari.
“Gagal
ginjal yang diderita ibu Siti sudah sangat parah. Karena itu, butuh perawatan
intensif,” terang dokter pada kakak yang sudah sangat panik.
“Tapi
dok, ibu kan sudah menjalani cucu darah dua kali dalam seminggu? Apa kurang
cukup untuk mengembalikan konidisi ibu? Apa belum cukup untuk mengembalikan
kebahagiaan ibu?” Tanya kakak ingin meyakinkan. Air mata yang sedari tadi
dipendam, akhirnya keluar begitu deras, sederas sayangnya pada ibu.
“Tenang
Nak, hanya Allah yang maha mencurahkan kebahagiaan untuk semua makhluk-Nya.
Dokter dan kita hanya mampu berdoa dan berusaha sekuat tenaga,” Paman mencoba
menenangkan sambil mengusap punggung kakak dengan lembut.
Sudah
lama rasanya kakak tidak merasakan sentuhan lembut dari seorang ayah seperti
yang dilakukan paman. Dalam tangisnya, ia merindukan kebijaksanaan ayah dan
kelembutan ibu.
Sementara
aku yang tak pernah mengerti dengan semua kejadian ini, hanya bisa bertanya
dalam diam, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tak pernah ada
jawabnya. ‘Mungkin belum saatnya aku menemukan jawaban itu’, batinku.
*
* *
Sudah
hampir satu minggu ibu berada di rumah sakit. Tak ada perubahan yang mampu
membuatku dapat merasakan nikmatnya menarik nafas lega.
Di
ruangan yang hanya dibatasi oleh sekat kain seadanya, aku duduk di samping ibu
yang sedang tertidur. Kupandangi wajahnya yang sangat pucat, kulitnya yang
mulai berkeriput termakan usia, dan gurat-gurat perjuangan yang jelas terlihat
di sana. Semua yang ada dalam diri ibu kelak akan menjadi saksi atas pengorbanan,
limapahan kasih dan sayang yang telah ia curahkan pada keluarga.
“Ya
Allah, izinkan aku mengabdi pada ibu sampai akhir usiaku… berilah aku
kesempatan untuk dapat membahagiakan ibu, walau semua yang telah Engkau berikan
melaluinya takkan pernah tergantikan…” pintaku penuh harap, dalam doa yang
mendalam.
*
* *
Hari
bahagia itu akan segera tiba. Walau ibu harus menahan sakit ketika cuci darah
dan tinggal di rumah sakit yang penuh dengan orang-orang yang berjuang untuk
hidup, tapi ada garis kebahagiaan terpancar dari senyuman ibu.
“Nak,
sebentar lagi kakakmu akan menikah, kelak kau pun akan menyusul kakakmu, ibu
minta, jadilah adik yang baik untuk kakakmu, sayangi ia ketika sayang ibu tak
dapat tercurahkan lagi padanya…” ucap ibu sambil menahan sakit di perutnya.
“Tidak
bu… ibu tidak boleh bicara begitu. Kita sama-sama saling menjaga dan berbagi
kasih sayang ya, Bu…” aku mencoba meyakinkan ibu. Namun ibu tak berkata apa-apa
lagi. Dengan matanya yang sayu, ia menatap kosong keluar jendela kamar rumah
sakit.
“Ibu
malu Nak,” ucapnya tiba-tiba. Belum sempat aku menanggapi ucapannya, ibu
melanjutkan dengan nada sendu. “Ibu malu, kalau nanti kakakmu menikah, ibu
hanya bisa duduk saja, atau bahkan berbaring. Tak bisa menyambut tamu yang
datang ke acara pernikahan. Mungkin orang-orang akan memandang tak baik. Kasihan
kakakmu…”
Mendengar
ucapan ibu, ingin rasanya aku menangis dan memeluknya. Mengatakan kalau semua
itu tak akan terjadi. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa menangis di hadapannya.
Aku tak ingin membuatnya bertambah sedih.
“Ibu
pasti sembuh… Ibu nanti akan duduk di samping kakak, memberinya restu, berfoto
bersama, menyambut salam dan do’a dari kedua keluarga yang berbahagia…” ucapku
mencoba menenangkan. Perlahan, kugenggam tangan ibu, lalu kucium ia dengan
perasaan haru.
*
* *
Sebuah
janji suci telah terucap, doa pun memenuhi setiap relung qalbu, berharap dua
insan berbahagia dalam kehidupan yang baru. Rembulan yang bersinar terang di
atas sana ikut bertasbih, sucikan asma-Nya.
Ruangan
sederhana ini terasa sangat indah. Bukan karena hiasan yang mewah, bukan pula
karena perabot yang mahal. Tapi karena setiap hati yang hadir di sini merasakan
hal yang sama. Bahagia.
Kulihat
senyum kakak merekah dan tak henti mulutnya mengaminkan setiap doa dari tamu
yang hadir. Ia tampak bahagia. Di sampingnya, duduk manis seorang wanita yang
sangat cantik, mendampingi kakak di pelaminan. Kini, seorang bidadari telah
melengkapi belahan hatinya, bersama membangun keluarga untuk mengharap ridho
Allah swt.
Di
balik kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya, aku tahu jauh di dalam lubuk hatinya,
ia merindukkan ibu. Meski sudah ada seorang wanita yang mendampinginya, kakak
tetaplah seorang anak yang mengharap wanita yang telah membesarkannya dengan
penuh ketulusan hadir di sampingnya pula saat ini. Ada yang tidak lengkap di
sini, seolah waktu telah mengambil ibu menjauh dan pergi. Kuyakin, siapapun menginginkan di saat-saat
sakral seperti ini, sosok seorang ibu dapat hadir, menyaksikan buah hatinya
menggenapkan dien-nya.
Ketika
giliranku menyalami kakak, tak berani aku menatap matanya. Aku hanya bisa
tertunduk menahan tangis. Aku tak ingin memperlihatkan duka di saat yang
bahagia ini. Namun, pertahananku pun mulai hancur, ketika kusalami kakak dan ia
pun membalas dengan ciuman lembut di kepalaku. Erat kupeluk ia, seperti seorang
anak yang tak ingin berpisah dengan ayahnya. Tak ada kata-kata yang terucap
dari mulut kami. Hanya bahasa hati yang mampu mengungkapkan semuanya, bahwa
kami rindu ayah dan ibu….
‘Kak,
sekarang hanya kakak yang aku punya, aku tak ingin ada perpisahan lagi, karena
aku tahu perpisahan itu ternyata rasanya sakit, lebih sakit daripada teriris
pisau, sebab kini yang teriris adalah hatiku…’ batinku.
Ibu
yang kami rindu, pergi lebih dulu sebelum masa bahagia itu berlalu. Tepat satu
minggu sebelum pernikahan kakak, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Mimpinya
untuk bisa menjadi saksi pernikahan pun tak sampai. Namun ridhonya telah
mengantarkan kebahagiaan itu pada anak-anaknya.
Menyaksikan
pernikahan kakak, aku sempat berpikir jika ridho Allah ada pada ridho kedua
orangtua, lalu pada siapa kini aku mencari ridho-Nya? Kelak saat aku menikah
dengan seseorang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi pendampingku, aku pun
ingin ayah menjadi wali nikahku dan ibu memberikan restunya untukku. Tapi aku
sadar, inilah takdirnya, Allah lebih sayang kepada mereka, karena itu Allah
memanggil mereka lebih dulu. Dan kelak, ridho suamilah yang aku cari untuk
peroleh ridho-Nya.
*
* *
Sejatinya
aku tak pernah kehilangan ayah dan ibuku, sebab mereka selalu ada di hati ini.
Kasih sayang yang selalu mereka curahkan sejak aku kecil masih terasa hingga
kini, bahkan ketika keduanya telah tiada. Ayah dan ibu tak pernah pergi, selalu
di hatiku. Mereka tak pernah jauh, selalu ada di dalam hatiku.
*
* *
Ingin
kuceritakan pengorbanan kakak yang tak pernah lelah dalam merawat ibu hingga
akhir hayatnya. Kakak yang selalu setia menemani ibu ketika dirawat di rumah
sakit. Ia rela meninggalkan pekerjaannya untuk ibu. Pernah suatu hari, ketika
aku pulang kuliah dan menjenguk ibu di rumah sakit, kutemukan kakak tertidur
sambil duduk di atas ranjang rumah sakit, sementara ibu tidur di pangkuannya.
Kulihat lelah di wajahnya karena beberapa hari ia tidak tidur demi menjaga ibu,
namun kutahu ia melakukannya dengan tulus. Setulus cinta ibu yang diberikan
ketika merawatnya sejak kecil dulu.
Seperti
itulah kakak lelakiku, rela melakukan apapun untuk ibu. Bahkan ketika sakit ibu
semakin parah, tak pernah satu malam pun terlewatkan untuk menaga ibu di rumah
sakit. Suatu malam, karena kecapean, ia tertidur di lantai, sementara ibu
dijaga oleh saudaraku. Tapi, karena sama-sama kelelahan, beliaupun tertidur.
Mereka terbangunkan oleh suara keras yang membentur lantai dan teriakan kakak.
Dini hari itu, ternyata ibu terbangun dan tangannya yang masih diinfus tak
sengaja menyenggol tabung oksigen besar di samping ranjangnya. Tabung itu pun
jatuh menimpa kakakku yang sedang tertidur di bawah.
Mendengar
ada yang jatuh, sontak kakak kaget dan langsung melihat ibu karena khawatir
teradi sesuatu pada ibu, tapi ia tak sadar bahwa ternyata lengannya telah
tertimpa tabung oksigen yang besar itu. Tak lama dari itu, ketika mendapati ibu
masih baik-baik saja, barulah ia merasakan sakit luar biasa pada lengannya.
Bahkan ia hampir pingsan karena sakit dan kerasnya tabung menimpa tangannya.
Untung beberapa perawat yang ada disana langsung memberikan perawatan untuk
kakak sampai tangannya harus di gips.
Meskipun
tangannya terluka, tapi ia masih bersyukur karena tabung oksigen itu tidak menimpa
kepalanya. Posisi kepalanya saat tertidur tepat di samping tabung itu tapi atas
rencana Allah malam itu posisi tidurnya pindah sehingga lengannya saja yang
tertimpa. Kejadian itu terjadi dua hari sebelum mamah meninggal.
Esoknya,
kakak yang tak pernah berhenti menjaga mamah, kondisi tubuhnya semakin menurun
setelah kecelakaan tabung itu. Sampai kakak perempuan mamah yang saat itu ikut
menjaga mamah menyarankan agar kakak istirahat saja di rumah. Awalnnya kakak
menolak karena ia tak ingin meninggalkan mamah. Namun, ia pun berpikir jika
kondisinya tak segera mambaik, bagaimana ia akan menaga mamah nantinya.
Akhirnya, kakak berpamitan pada mamah yang saat itu tak mengingat apapun.
Inilah
rencana Allah yang telah menakdirkan semua anak-anak mamah tak menyaksikkan
kepergiannya. Malam itu, ketika kakak pulang dan istirahat di rumah, Allah
memanggil mamah.